Re-launching SAQINA.COM

Re-launching SAQINA.COM
Bisnis online sering dibayangkan mudah. Namun kami ingin mengelolanya sebaik toko-toko offline kami.

Thursday, October 25, 2007

Masalah SDM di Sektor Formal dan Informal

Lebaran telah usai. Mungkin dari kita sudah bersilaturrahmi ke sanak saudara, ke paman, bibi, eyang, sepupu dan banyak saudara lainnya. Salah satu pertanyaan yang sering kita jumpai adalah “ Sekarang kerja dimana ? “. Kalau yang karyawan tentunya mudah menjawabnya. Mungkin dengan bangga kita sendiri menjawab, atau saudara, atau bapak/ibu kita pun ikut bangga menjawabnya ..” oh kerja di Astra ..” atau “oh kerja di Ramayana .. “ atau “oh kerja di Telkomsel, ituloh operator HP Simpati ….” Atau “di Matahari, sekarang sudah Manajer loh ..”

Sementara yang kerja di sektor informal …. Mungkin dengan malu-malu ..”Saya usaha dagang baju Pak …” atau “ saya lagi buka usaha ternak ayam “ .. atau .. “ saya lagi nyoba mulai usaha kecil-kecilan, buka toko sepatu di pasar “ … Sambil terima respon yang kadang menjadi guyonan …”wah ..sudah jadi Sodagar yaa” ..atau “ wah, juragan ayam yaa” atau ..”wah ..lagi banyak duit yaa, habis panen sih ..”

Ya itulah realitas. Mejalani hidup disektor formal kadang mendapatkan penghargaan yang lebih. Kadang lebih dipandang lebih intelek, bermartabat, keren, dan tentunya kaya karena bergaji jutaan. Yang kerja di sektor ritel pun demikian, banyak anak muda (remaja) yang lebih bangga jika bekerja di ritel modern seperti Carrefour, Matahari, Ramayana dan lainnya.

Sebagai pengusaha di sektor informal, khususnya ritel busana, saya pribadi menyatakan bahwa masalah SDM adalah masalah nomor satu yang harus diperhatikan. Apalagi saya membangun jaringan toko ritel, yang notabene nantinya dikelola mandiri oleh SDM toko.

Menurut penelitian Martels & Pannels, dalam bukunya The Teenage Worker, Retention and Motivation yang terbit pada tahun 2000, menyebutkan 10 Faktor Pendorong Motivasi pekerja remaja di industri ritel adalah :

1. Memiliki kebanggaan pada pekerjaan dan tempat kerjanya
2. Sering mendapatkan perhatian rekan dan atasan
3. Atasan mendengarkan apa yang mereka katakan
4. Memperlakukan mereka dengan hormat
5. Manager/Supervisor mereka memperhatikan sebagai seorang individu
6. Mendapatkan arahan dan tuntutan pekerjaan yang jelas (ada SOP)
7. Mendapatkan umpan balik yang cukup atas pekerjaan
8. Hasil pekerjaannya bisa terlihat jelas
9. Pekerjaannya tidak mebosankan
10. Atasan tidak ada like and dis-like

Kalau ke 10 point diatas kita percaya, yang tentunya kita sebagai peritel kecil ini sungguh merana dipandang oleh karyawan-karyawan kita. Mengapa, jawabannya jelas sekali.

1. Bisnis kita masih kecil, toko kita kecil, so ..apa yang bisa dibanggakan oleh karyawan kita ?
2. Karyawan kita ngga banyak, so … mungkin sering kali karyawan kita kurang kawan, dan pekerjaan bisa jadi membosankan
3. Kadang kita lupa menuliskan SOP, standar kerja, yang kadang menjadikan seberapapun kerja keras karyawan kita menjadi tidak terlihat
4. Tidak adanya jenjang karir, dan juga atasan yang kadang pemilik langsung juga kurang perhatian, kurang komunikasi ..
5. Kadang jadwal kerja yang terlalu lama, karena pemilik ingin menekan overhead operasional

Untuk itu semua, saya yang sekarang terus mengembangkan jaringan SAQINA tidak pernah berhenti memecahkan masalah SDM. Di Wilayah timur, Jumat dan Sabtu pasca lebaran lalu, saya mengadakan training untuk sosialisasi SOP baru, sekaligus wisata. Semua karyawan antusias atas penerapan sistem manajemen baru.

Namun di Wilayah barat, pasca lebaran, saya kehilangan 3 orang karyawan yang notabene sudah mengusai produk. Satu ilmu lagi, aalah satu tantangan membuat toko di wilayah industri adalah, lulusan SMP dan SMA sekarang lebih suka kerja di pabrik dari pada di toko. Dan gaji selalu dibandingkan dengan UMR. Ini memaksa saya mencari data UMR se-Indonesia, dan alhamdulillah dapat, dan tentunya mau menghitung ulang sistem penggajian karyawan.

Semua masalah adalah tantangan, dan jika terpecahkan, akan menjadi batu pijakan untuk terus maju kedepan.

Salam

Rosihan

Tuesday, October 23, 2007

Mentalitas Yang Terbebani Identitas

Ramadhan 1994, saya ikut pesantren kilat jaman mahasiswa. Salah satu topik yang begitu melekat sampai hari ini, adalah paparan tentang “The Real I” yang dibawakan oleh Budi Munawar Rachman (intelektual, bidang filsafat kalau tidak salah).

The Real I (identitas yang sesungguhnya) digambarkan dalam sebuah lingkaran, yang didalamnya ada huruf RI (identitas riil) dan dikelilingi banyak lingkaran diluarnya yang membentuk suatu orbit, dimana setiap orbit terdapat banyak I (identitas tambahan) yang lain. Intinya adalah, bahwa identitas kita yang sesungguhnya, seringkali dikelilingi, bahkan tertutupi oleh identitas-identitas tambahan lainnya yang melingkupi pada saat itu. Poin-poit itulah yang saya pahami sampai saat ini.

Coba sekarang kita menanyakan kepada diri sendiri.
Hey… kamu itu siapa sih sesungguhnya ? Kalau saya ditanya seperti itu, saya pasti akan terjebak menjawab sbb:
Oh, “saya Rosihan, saya orang Jawa, saya alumni ITB, saya Konsultan IT, saya bekas Karyawan Astra, saya, saya …, saya …. “ dan seterusnya.

Apakah semua jawaban itu adalah identitas seorang Rosihan sesungguhnya ? saya merasakannya tidak. Jika orang tua saya menamakan Agus juga bisa, jika saya besar di Jawa Barat saya akan jadi orang Sunda, jika saya kuliah di UI maka saya Alumni UI, jika saya ngga kerja di Astra ngga mungkin jadi Karyawan Astra, dan seterusnya …

Semua identitas itu adalah identitas tambahan yang melekat pada diri saya, yang terjadi karena suatu kondisi dan pilihan-pilihan. Bukan Identitas yang sesungguhnya (Real I).


Identitas Yang Membebani

Sadar atau tidak, semua identitas tambahan yang pernah melekat, atau saat ini melekat pada kita, seringkali mempengaruhi cara kita berpikir dan bertindak. Kadang mengambil keputusan untuk “Menjadi Seseorang Yang Baru” atau menambah identitas tambahan yang baru, kita menjadi sulit. Kita kadang menjadi terbebani oleh identitas lainnya yang telah melekat.

“Seorang Manager” kadang merasa RISIH untuk memulai menjadi “Seorang Pedagang”. “Seorang Penulis” merasa RISIH menjadi “Seorang Pengusaha”, atau
“Seorang Pengusaha” merasa RISIH menjadi “Seorang Politisi”, dan lainnya.

Kalau kita bedah kata “RISIH”, sebenarnya terdiri dari sekumpulan asumsi-asumsi dan pemikiran negatif. Perasaan risih ini terjadi, karena mental kita sudah terbebani oleh identitas yang melekat itu. Kita sedang sibuk membanding-bandingkan antar Identitas. Ini suatu hal yang sangat tidak perlu.


Jika kita terus berjuang untuk mengenal siapa diri kita sesungguhnya (Real I), sebenarnya kita tidak perlu merasa terbebani, apalagi terkungkung oleh identitas yang melekat itu. Kita bisa sesuka hati menjadikan kita sebagai: “saya Pengusaha, saya Penulis, saya Pedagang, saya Konsultan” ..dan lainnya.

Ini merupakan salah satu modal mental untuk “Menjadi Apa Aja”, dengan lebih jelas, yakin dan rileks. Kita tidak perlu takut “menjadi yang baru”, dan ini adalah modal dasar kita untuk bergerak terus maju menjadi yang baru.

Jadi, yang “Programmer” tidak perlu merasa risih menjadi “Pedagang”. Yang “Pedagang” tidak perlu merasa minder menjadi “Konsultan”. Yang “Konsultan” tidak perlu merasa rugi jadi “Penulis”. Yang “Penulis” tidak perlu merasa takut menjadi “Pengusaha”

Semua itu adalah pilihan-pilihan, dan “Menjadi Itu “ adalah tidak kekal. Itu bisa berubah. Itu bisa ada masanya. Yang kekal adalah menjadi saya yang sesungguhnya (Real I).
Adalah picik kalau sebagian besar hidup kita hanya dilekatkan pada Satu Identitas. Adalah picik kalau seorang Rosihan hanya ingin menjadi “Konsultan IT”, karena seorang Rosihan selalu bermimpi akan bebas menjadi apa aja, bisa menjadi “Pedagang, Perancang Mode, Pengusaha, Penulis, Pembicara, Politisi, Pejabat, Konglomerat, Pendakwah, Kyai, atau bahkan Guru Bangsa…..”