Re-launching SAQINA.COM

Re-launching SAQINA.COM
Bisnis online sering dibayangkan mudah. Namun kami ingin mengelolanya sebaik toko-toko offline kami.

Tuesday, February 12, 2008

Bisnis Harus Dipilih sebagai Media Belajar

“Budaya Tionghoa mengajarkan tidak boleh menunggu tahu segalanya untuk membuka bisnis. Orang Tionghoa juga tidak pernah menunggu paham dan tahu semua hal baru ketika memulai berbisnis. Justru bisnis adalah media belajar, dari TIDAK TAHU menjadi TAHU” (Salim Kartono – dari Buku 5 Jurus Sukses Berbisnis Retail)

Kadang kita sudah terlalu terlena dengan apa yang dinamakan pendidikan formal. Kita seringkali lebih bangga dan lebih rela mengeluarkan ongkos yang sangat mahal untuk membeli pendidikan. Pendidikan formal, kursus, workshop dan lainnya memang bagus, sebagai media pendidikan formal, tetapi bukan media pembelajaran yang riil. Harus ada media pembelajaran lanjutan yang harus dipilih dan dibayar.

Memilih Bisnis sebagai Media Belajar, saya yakini juga sebagai suatu hal yang harus dipilih secara sadar dan wajib, bagi siapapun yang ingin menjadi pewirausaha. Jika ini sudah dipilih, berarti segala konsekuensi, termasuk membayar ongkos belajar-nya, alokasi tenaga, pikiran dan waktu, harus dibayarkan tunai.

Kalau di pendidikan formal kita berjuang keras harus lulus, berarti untuk sekolah disini pun kita harus lebih berjuang lagi. Kalau ngga naik kelas atau ngga lulus kita malu, sehingga harus belajar keras, sama halnya juga, seharusnya kalau kita berbisnis untuk belajar, wajib naik kelas dan lulus.

Dari bisnis riil, kita akan belajar secara langsung untuk memilih, lalu mengambil keputusan. Awalnya lambat, akhirnya kita bisa cepat dalam memilih dan mengambil keputusan. Sedangkan pengalaman dan kemahiran dalam menjalankan roda bisnis, akan berjalan dengan sendirinya seiring berjalannya roda bisnis setiap hari.

Jika kita masih bingung mau bisnis apa, saya rasa tidak ada salahnya memilih bisnis apa saja, yang penting kita sudah punya “sekolah bisnis yang riil”, dan kita punya tanggung jawab untuk berjuang untuk lulus.

Salam
Rosihan

Tuesday, February 5, 2008

Emotional Bank Account (EBA)

Emotional Bank Account (EBA) adalah ilmu lama. Saya sendiri mengetahuinya sejak 1997 ketika belajar Seven Habbits-nya Stephen Covey. EBA adalah salah satu hal penting dalam hubungan antar manusia, apalagi dalam hubungan bisnis.

Mempunyai EBA adalah seperti kita mempunyai rekening deposito di Bank A, dan idealnya kita dapat selalu menambah deposito tersebut. EBA adalah Rekening Bank Kepercayaan yang kita tanamkan ke seseorang dalam suatu hubungan. Intinya adalah, seberapa banyak kita menanamkan rasa percaya orang lain kepada kita, dalam banyak hal.

EBA saya angkat kembali sebagai tulisan disini untuk mengingatkan kita, betapa penting membangun dan menanamkan rasa percaya antar orang per orang dalam suatu komunitas. Kita tidak bisa semena-mena dengan mudah mengatasnamakan komunitas untuk “memaksa” orang lain percaya dengan kita. Apalagi untuk percaya memberikan kemudahan dalam urusan bisnis.

Stephen Covey mengingatkan hal-hal yang sebenarnya kita sudah tahu, tapi mungkin kita lupa melakukannya. Ada beberapa cara menanamkan kepercayaan :

1. Mengenal Individu
Cara kuno mengenal individu adalah silaturrahmi. Silaturahmi yang tampak mata adalah berjabat tangan, membuat janji lebih sering bertemu di waktu luang, dan bisa lebih indah berkunjung kerumah, mengenal secara kekeluargaan. Lupakan cara online disini. Tidak ada emosi yang luar biasa bisa ditanamkan jika kita memulai silaturrahmi dengan cara online. Untuk itu, TDA sangat gencar mengadakan acara offline.

2. Menanamkan kesan yang baik
Ini maksudnya bukan akting, tapi betul-betul menanamkan aura selalu positif kepada orang lain. Ini bisa dimunculkan melalui hal-hal kecil, melalui pembicaraan yang ringan

3. Memenuhi komitmen
Komitmen adalah kata kunci dalam hubungan. Komitmen adalah Janji. Jika kita sudah mengeluarkan komitmen/janji, otomatis orang lain akan mengeluarkan harapan untuk bisa terpenuhi atas janji tersebut. Sekali janji dilanggar, kita telah menarik deposito rasa kepercayaan yang cukup besar. Menilai personal yang selalu mempunyai komitmen tinggi, sangat mudah dilihat dari kegiatan-kegiatan yang non profit. Jika yang non profit aja komitmennya tinggi, biasanya akan lebih komitmennya untuk kegiatan profit.

4. Komunikasi yang terbuka
Selalu mengkomunikasikan segala sesuatu secara terbuka, jujur dan apa adanya. Berbicara secara eksplisit, tanpa pernah ada itikad menyembunyikan sesuatu (implisit), apalagi politiking.

5. Memperlihatkan Intergritas Pribadi
Integritas memiliki definisi deskriptif yang luas. Integritas bisa berarti anda sesuai dengan yang anda katakan, bisa juga berarti kejujuran, bisa berarti tidak bermuka dua, memperlakukan orang lain dengan perangkat prinsip yang sama, tidak melanggar sistem nilai yang dia anut.

6. Meminta maaf, mengkomunikasikan apa yang terjadi
Jika suatu komitmen tidak terpenuhi, kepercayaan masih bisa dipertahankan jika kita bisa mengkomunikasikan apa yang terjadi dengan baik, tentunya diiringi dengan permintaan maaf dan komitmen lanjutan.

Semua diatas sebenarnya sudah kita ketahui, bukan hal baru. Namun kadang kita lupa melakukannya, sehingga banyak buku ditulis ulang untuk sekedar mengingatkan.

Salam
(untuk TDA yang sedang menuju Trusted Society)

rosihan

Membebaskan dari Belenggu Sejarah

Pertanyaan yang paling sering saya ulang untuk diri saya sendiri adalah “mengapa saya saat ini saya berada disini ???”

Mengapa sering saya ulang ? karena untuk meyakinkan kembali langkah diri, apakah betul sesuai dengan saya impikan ? atau justru saya masih hanyut dalam belenggu kesejarahan hidup ?

Menurut saya, kesejarahan hidup kita kadang tanpa sadar telah membelenggu begitu banyak potensi kehidupan kita. Mari kita runut kembali sejarah masa lalu kita masing-masing.

Bagi yang lahir pertengahan tahun 1960-an atau diawal tahun 1970-an, mereka adalah generasi yang dilahirkan dimasa tenang Indonesia dibawah Orde Baru. Kita bersekolah di era kebijakan pendidikan agak “otoriter”, tapi cukup enak, minimal biaya sekolah dulu sangat murah. Kehidupan cukup tenang, subsidi pemerintah berlimpah. Walau demokrasi agak dikekang. Lalu era industri juga lagi berkembang. Lulusan sekolah digiring untuk memenuhi kebutuhan industri. Mencari pekerjaan ditahun 1980-an sampai 1996 sangat “mudah”, karena ekonomi sedang tumbuh.

Lalu tanpa sadar ketika kita kelas 1 SMA, dihadapkan pada pilihan jurusan SOS atau IPA. Saat kelas 3 SMA kita dihadapkan pilihan Jurusan Kuliah. Setelah lulus, saat itu menjadi suatu kebanggan jika kita bekerja diperusahaan dengan latar belakang kuliah kita. Kita seperti mendapat penghargaan untuk bekerja “di bidang-nya”.

Saat umur 24-an mulai kerja, lalu tanpa terasa terprovokasi untuk mengejar jenjang karir, maka tanpa terasa waktu kerja selama 3 tahun, 5 tahun, 10 tahun, bahkan ada yang 20-an tahun bekerja “di bidang-nya”.

Sialnya bagi mereka yang mulai bekerja di Jakarta diawal tahun 1990-an, sudah harus tunduk pada aturan Ibukota. Mereka yang sudah berkeluarga, jika ingin beli rumah dengan posisi gaji saat itu, harus rela membeli rumah di daerah sub-urban seperti Tangerang, Serpong, Depok, Cibubur, dan Bekasi. Mereka sekaligus harus mau menjalani perjalanan pulang pergi kerja sekitar 2-4 jam. Suatu pengorbanan waktu yang tidak sedikit jika mau dihitung selama masa kerja.

Stop, mungkin itu cukup sebagai ilustrasi kesejarahan hidup kita. Pertanyaanya sekarang ? apakah saya masih terhanyut dalam alur sejarah itu ? apakah pilihan-2 jaman SMA dan kuliah yang dulu kita lakukan harus terus kita jalani ? apakah sebenarnya ini mimpi dari kehidupan kita ? apakah akan kita jalani sampai sisa hidup kita ?

Sebenarnya siapa yang menyuruh kita “bekerja dibidangnya”. Siapa yang menentukan bidang-bidang itu ? Kenapa saya kerja di Jakarta ? kenapa saya tinggal di Cibubur ? Siapa yang menyuruh kita menghabiskan waktu dikemacetan Jakarta ? Apakah saat ini saya sudah bisa punya pilihan baru ? Apakah saya bisa memulai kehidupan baru dengan pilihan yang lebih dewasa ? bukan hasil pilihan jaman SMA dan kuliah ?

Jika kita bisa memberikan jawaban-jawaban baru, tentunya akan lebih indah. Karena pilihan-pilihan baru itu hasil dari pilihan yang lebih dewasa, lebih rasional, lebih berwawasan. Tidak ada salahnya pilihan baru merupakan kelanjutan yang lebih advance dari sejarah masa lalu.

Tapi juga tidak salahnya untuk kesejarahan hidup kita yang tersisa, kita memulai saat ini dengan sesuatu yang benar-benar BARU. Karena hidup akan lebih bermakna jika kita bisa mengoptimalkan semua potensi kehidupan kita yang selama ini terpendam.

Salam
rosihan